Selasa, 12 Maret 2013

Perdagangan Bebas Antara Indonesia - China


PERDAGANGAN BEBAS ANTARA INDONESIA - CHINA

Pemerintah melalui Menteri Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland telah menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area), yakni perjanjian kerjasama untuk melakukan perdagangan bebas di antara negara-negara tersebut. Sementara itu perjanjian ASEAN-China sudah akan mulai berlaku sejak bulan Januari 2010. 
Bahkan Menteri Perdagangan ASEAN juga telah membahas kerangka kerja penyusunan FTA dengan Uni Eropa dan India. Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negara-negara yang terlibat perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang disepakati.  
Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.
Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%, garam 66,% dan kapas sebanyak 80%.
China akan lebih dominan dari negara-negara ASEAN, ketika perdagangan bebas ASEAN-Cina diberlakukan per 1 Januari 2010. Perdagangan bebas ASEAN-Cina akan berdampak kepada tidak seimbangnya neraca perdagangan antara Cina dengan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. China lebih menguasai perdagangan karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. Di saat bersamaan negara China agresif mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing. China menerapkan tarif pajak hingga nol persen. Hal ini akan menekan harga ekspor. Dengan produksi massal, biaya produksi produk-produk China rendah karena biaya per unit lebih rendah.
Produk-produk yang murah tersebut, membanjiri pasar-pasar nasional dengan harga murah. Indonesia lalu dipaksa menampilkan produk-produk yang memiliki keunggulan komperatif tertentu, seperti batik dan melakukan subsitusi impor dengan berupaya mengatasi masalah-masalah impor. Indonesia sulit menjadwal ulang perdagangan bebas ASEAN-China karena kesepakatannnya cukup lama. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana negara-negara tersebut menghindari praktik-praktik yang tidak sehat dalam perdagangan.
Pada sisi lain IPTN sebagai industri unggulan berteknologi tinggi yang dimiliki Indonesia, harus ditutup apabila ingin mendapat bantuan dari IMF. Dampak langsungnya 12.000 pekerja IPTN harus mengalami PHK, bahkan banyak diantaranya yang ahli dalam bidang kedirgantaraan. Selain itu yang jadi ironi, IPTN yang dirintis dan dikembangkan sejak 1976 harus dikandaskan begitu akan tinggal landas.
Selain itu, dampak yang lebih dahsyat sehubungan dengan dibangunnya komitmen dengan IMF ini mengakibatkan 80% pasar tekstil,  80% pasar farmasi, dan 92% pasar Industri Technology dikuasai oleh perusahaan asing. Akibatnya, pada 2005 saja terdapat 429 perusahaan tekstil yang kolaps, dan 200 diantaranya gulung tikar pada 2008. Sementara itu, defisit perdagangan dengan China  mencapai 53 triliun rupiah pada 2010 saja. Bahkan di Pasar Induk Cipinang, pada saat ini tidak ada lagi beras lokal.



Pendapat saya tentang Perdagangan Bebas Antara Indonesia – China :

Saya kurang setuju karena dalam perdagangan bebas ini antara Indonesia – China yang lebih mendapat keuntungan adalah China. China lebih menguasai perdagangan karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. China juga agresif dalam mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing. Dari segi infrastruktur maupun harga barang yang ditawarkan di Indonesia, China juga lebih unggul, sebab harga barang yang ditawarkan di China lebih murah dibandingkan di Indonesia.
         Menurut saya, pemerintah harus memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk lebih mencintai produk dalam negeri dengan terus meningkatkan mutu produk-produk dalam negeri agar berkualitas. Melakukan seleksi produk untuk melindungi industri nasional. Dan juga pemerintah harus memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI), ketentuan label dan sejumlah peraturan lainnya terkait dengan pengamanan pasar dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar