Hukum perikatan adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap
orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian
apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau
tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang.
Di dalam perikatan ada perikatan
untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian.
Kronologi Kasus :
PT Metro Batavia salah
satu perusahaan pesawat terkemuka tersandung masalah dengan PT Garuda
Maintenance Facility (GMF) Aero Asia. Kasus ini muncul saat keduanya menjalin
kerjasama pada juli 2006. Kala itu, Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN
724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF
untuk memenuhi standar nasional. Kemudian, pada 12 September 2007 mesin selesai
diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan. Tak berselang
lama dari itu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2007 mesin ESN 857854 rusak setelah
terbang 300 jam terbang. Batavia menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia
ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian
memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta
mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat,
akan tetapi GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan.
Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan pengerjaan.
Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun
menggugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi
memang sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.
Dengan dasar hasil
itu, pada Agustus 2008 Batavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu ditolak oleh
pengadilan. Padahal di sisi lain, Batavia memiliki hutang perawatan pesawat
milik GMF sejak Agustus 2006, dan tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian
tersebut Batavia memutuskan secara sepihak beberapa kontrak perjanjian
perbaikan dan pembelian pesawat, padahal pesawat sudah sudah siap untuk
diserahkan sehingga kerugian di pihak GMF mencapai ratusan juta rupiah
disebabkan pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini
yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2007. Tapi tak
kunjung dilunasi oleh Batavia hingga pertengahan tahun 2008.
Sumber :
Pada mulanya pihak GMF tidak ingin
memperkeruh permasalahan ini mengingat hubungan antara GMF dan Batavia sangat
baik, namun setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak GMF dengan
cara mendatangi pihak Batavia di kantor Batavia, tetap saja tidak ada respon
timbal-balik dari Batavia. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan
oleh Batavia dengan membawa perkara mesin itu ke pengadilan bisa yang
berbanding terbalik dengan perlakuan GMF yang ingin menyelesaikan perkara
hutang Batavia dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah
pihak GMF bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini
diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.
Menurut Sugeng “Batavia sebagai salah satu perusahaan pesawat telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak GMF terhadap Batavia pun masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak GMF”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum GMF akan menggugat Batavia ke pengadilan. Begitulah, Batavia benar-benar dalam keadaan siaga satu.