PERDAGANGAN
BEBAS ANTARA INDONESIA - CHINA
Pemerintah melalui Menteri
Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri
Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland telah menandatangani Persetujuan
Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia,
New Zealand Free Trade Area), yakni perjanjian kerjasama untuk melakukan
perdagangan bebas di antara negara-negara tersebut. Sementara itu perjanjian
ASEAN-China sudah akan mulai berlaku sejak bulan Januari 2010.
Bahkan
Menteri Perdagangan ASEAN juga telah membahas kerangka kerja penyusunan FTA
dengan Uni Eropa dan India. Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing
negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negara-negara yang
terlibat perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang
disepakati.
Padahal jika dicermati perjanjian
tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan
non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif.
Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang
dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama
susu daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.
Jika tarif diturunkan menjadi
nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi.
Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran
produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini
Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100%
dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%,
daging sapi 50%, garam 66,% dan kapas sebanyak 80%.
China akan
lebih dominan dari negara-negara ASEAN, ketika perdagangan bebas ASEAN-Cina
diberlakukan per 1 Januari 2010. Perdagangan bebas ASEAN-Cina akan berdampak
kepada tidak seimbangnya neraca perdagangan antara Cina dengan negara-negara
ASEAN, termasuk Indonesia. China lebih menguasai perdagangan karena
produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. Di saat bersamaan negara
China agresif mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing.
China menerapkan tarif pajak hingga nol persen. Hal ini akan menekan harga
ekspor. Dengan produksi massal, biaya produksi produk-produk China rendah
karena biaya per unit lebih rendah.
Produk-produk
yang murah tersebut, membanjiri pasar-pasar nasional dengan harga murah.
Indonesia lalu dipaksa menampilkan produk-produk yang memiliki keunggulan
komperatif tertentu, seperti batik dan melakukan subsitusi impor dengan berupaya
mengatasi masalah-masalah impor. Indonesia sulit menjadwal ulang perdagangan
bebas ASEAN-China karena kesepakatannnya cukup lama. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana negara-negara tersebut menghindari
praktik-praktik yang tidak sehat dalam perdagangan.
Pada sisi
lain IPTN sebagai industri unggulan berteknologi tinggi yang dimiliki
Indonesia, harus ditutup apabila ingin mendapat bantuan dari IMF. Dampak
langsungnya 12.000 pekerja IPTN harus mengalami PHK, bahkan banyak diantaranya
yang ahli dalam bidang kedirgantaraan. Selain itu yang jadi ironi, IPTN yang
dirintis dan dikembangkan sejak 1976 harus dikandaskan begitu akan tinggal
landas.
Selain itu,
dampak yang lebih dahsyat sehubungan dengan dibangunnya komitmen dengan IMF ini
mengakibatkan 80% pasar tekstil, 80% pasar farmasi, dan 92% pasar
Industri Technology dikuasai oleh perusahaan asing. Akibatnya, pada 2005 saja
terdapat 429 perusahaan tekstil yang kolaps, dan 200 diantaranya gulung tikar
pada 2008. Sementara itu, defisit perdagangan dengan China mencapai 53
triliun rupiah pada 2010 saja. Bahkan di Pasar Induk Cipinang, pada saat ini
tidak ada lagi beras lokal.
Pendapat saya tentang Perdagangan Bebas Antara
Indonesia – China :
Saya kurang setuju karena dalam
perdagangan bebas ini antara Indonesia – China yang lebih mendapat keuntungan
adalah China. China lebih menguasai
perdagangan karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. China juga agresif dalam mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing. Dari segi
infrastruktur maupun harga barang yang ditawarkan di Indonesia, China juga
lebih unggul, sebab harga barang yang ditawarkan di China lebih murah
dibandingkan di Indonesia.
Menurut
saya, pemerintah harus memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk lebih
mencintai produk dalam negeri dengan terus meningkatkan mutu produk-produk
dalam negeri agar berkualitas. Melakukan seleksi produk untuk melindungi
industri nasional. Dan juga pemerintah harus memberlakukan Standar Nasional
Indonesia (SNI), ketentuan label dan sejumlah peraturan lainnya terkait dengan
pengamanan pasar dalam negeri.